67
Tahun Indonesia Merdeka: Pola Pembangunan Belum Berubah Sejak Orde Baru
Oleh Ahmad Munjin
Sudah 67
tahun merdeka, Indonesia boleh berbangga atas prestasi pertumbuhan tertinggi
kedua di dunia. Sayangnya, pola pembangunan belum berubah sejak Orde Baru.
Pengamat ekonomi David Sumual
mengapresiasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menempati rangking tertinggi
kedua di Asia setelah China bahkan dunia. Pada kuartal dua 2012, Produk
Domestik Bruto (PDB) China tumbuh 7,6% dan Indonesia 6,4% (year on year).
Secara historis, India menempati posisi
kedua. Sekarang, India hanya tumbuh di bawah 6% ke level 5,4%. “Bisa tumbuh di
atas 6% dan melampaui India, merupakan prestasi tersendiri bagi Indonesia,”
katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (14/8/2012).
Masalahnya, kata dia, pertumbuhan
tersebut tidak berkualitas. Ukurannya adalah penyerapan tenaga kerja,
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, dan human development seperti
kesehatan, pendidikan dan lain-lain. “Itulah indikator-indikator yang mengukur
kualitas pertumbuhan,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, porsi PDB di
sektor manufaktur terus menurun. Sebelum krisis 1998, porsi manufaktur di atas
30%, lalu turun ke level 27% lima tahun lalu, dan sekarang tinggal 24%. “Pada
kuartal I-2012, porsi manufaktur hanya tersisa 23,6%,” ungkap David.
Padahal, sektor yang banyak menyerap
tenaga kerja adalah manufaktur dan pertanian yang justru jadi ukuran kualitas
pertumbuhan ekonomi. “Yang meningkat pesat justru sektor pertambangan, jasa,
dan perdagangan,” tuturnya.
Padahal, kata dia, sektor-sektor
tersebut, kurang menyerap tenaga kerja dibandingkan manufaktur dan pertanian.
Lahan pertanian pun semakin kecil. Bahkan, semakin lama semakin termekanisasi
seiring perkembangan teknologi sehingga daya serap tenaga kerja pun berkurang.
Lebih jauh David mengakui, tingkat
pengangguran Indonesia memang turun ke 6,3% hingga Maret 2012. Angka ini
merupakan yang terendah sepanjang sejarah Indonesia. “Tapi, tenaga kerja itu
lebih diserap oleh sektor jasa,” katanya.
Kategori bekerja pun, kata dia, tidak
berkualitas. “Terdaftar jadi salah satu anggota organisasi massa juga sudah
dihitung sebagai pekerjaan. Ukurannya, masih sangat longgar yakni bekerja dua
jam dalam satu pekan terakhir,” ucap David. Begitu juga dengan angka kemiskinan
yang cenderung turun dari 24% pada 1998 menjadi hanya 12,5% pada tahun ini.
Nasib serupa untuk indikator tenaga
kerja Indonesia (TKI) di mana devisa yang dihasilkannya cenderung meningkat.
“Tapi, TKI yang kita kirim, kebanyakan unskilled seperti pembantu rumah tangga yang
value added dan gajinya kecil sehingga sumbangannya terhadap devisa pun tidak
terlalu besar,” tuturnya.
Kondisi itu, lanjutnya, berbeda dengan
tenaga kerja yang dikirim oleh Filipina yang lebih skillful seperti perawat dan
dokter.
David menegaskan, banyaknya TKI keluar
negeri, jadi indikator PDB Indonesia tidak mampu menyerapnya. “Sebab,
barang-barang yang dieskpor kebanyakan barang mentah sehingga nilai tambah
terjadi di luar dan otomatis daya serap tenaga kerjanya rendah. Akibatnya,
pekerjanya juga sekaligus dieskpor dengan gaji murah,” ujar David.
Di atas semua itu, David menegaskan,
pola pembangunan ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan sejak Orde Baru
tumbang. Sejak puluhan tahun, pembangunan ekonomi lebih terpusat di pulau Jawa,
terutama Jabodetabek. “Karena itu, walaupun Indonesia bisa tumbuh 6,4%,
disparitas ekonomi sangat tinggi antara Jawa dan non-Jawa,” imbuh dia.
Kalau dilihat dari pertumbuhan kredit,
25% didominasi pulau Jawa dan luar Jawa jauh di bawah 20%. Jika dilihat dari
porsi kredit nasional, Jawa lebih besar 70% sebesar Rp1.500 triliun sedangkan
luar Jawa sekitar Rp600 triliun. “Pulau Jawa pun, kebijakan ekonomi lebih
dinikmati Jabodetabek,” timpal David.
Dalam dua periode pemerintahan, baru
dua tahun terakhir SBY punya perhatian untuk kebijakan jangka panjangnya.
Padahal, sejak periode pertama seharusnya sudah bisa diarahkan pada kebijakan
infrastruktur, SDM yang skillful dan seterusnya.
Sebelumnya, porsi APBN untuk
infrastruktur di bawah 5% jauh lebih kecil dibandingkan subsidi Bahan Bakar
Minyak (BBM) sebesar 18% dan belanja rutin pemerintah mencapai 16%. “Inilah
yang membuat daya saing produk dalam negeri jadi lemah,” ungkapnya.
Karena itu, perhatian pada
infrastruktur hampir terlambat karena pemerintahan sudah berjalan hampir 10
tahun dan 2014 berakhir. Sebab, yang penting adalah blueprint dan setiap ganti
pemerintahan, kebijakan seharusnya tidak ikut diganti.
Meski terlambat, David meniai positif
kebijakan hilirisasi untuk pertambangan dan sektor perkebunan. Antara lain,
coklat yang tidak bisa diekspor mentah. Sebab, Indonesia merupakan penghasil
coklat terbesar dunia tapi tak satu pun merek coklat Indonesia yang terkenal di
dunia. “Sekarang jika dieskpor mentah terkena bea keluar 20%. Ini cukup
positif,” tegas dia.
Tapi, dia menyarankan, jangan serta
merta melarang untuk ekspor tapi tanpa memperbaiki daya saing. Untuk eskpor
bahan tambang, harus dipikirkan produk jadinya apakah bersaing (daya saing)
atau tidak dengan barang produk negara lain seperti China dan Jepang.
Untuk nikel, Indonesia menghentikan
ekspor ke China, tapi negeri Tirai Bambu itu bisa impor dari Filipina.
“Keterbatasan kita selalu infrastruktur. Untuk angkut tambang termasuk nikel ke
pelabuhan jalannya masih rusak yang setelah krisis 1998, pembangunan infrastrukturnya
terbengkalai,” imbuhnya.
Sumber: http://id.berita.yahoo.com/67-tahun-indonesia-merdeka-pola-pembangunan-belum-berubah-100800105.html