GLOBALISASI
I. Defenisi Globalisasi
Kata globalisasi dalam dekade
terakhir ini tidak saja menjadi konsep ilmu pengetahuan sosial dan ekonomi,
tetapi juga telah menjadi jargon politik, ideologi pemerintahan (rezim), dan
hiasan bibir masyarakat awam di seluruh dunia. Teknologi informasi dan media
elektronik dinilai sebagai simbol pelopor yang mengintegrasikan seluruh sistem
dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi dan keuangan.
Globalisasi bukanlah sesuatu
yang baru, semangat pencerahan eropa di abad pertengahan yang mendorong
pencarian dunia baru bisa dikategorikan sebagai arus globalisasi. Revolusi
industri dan transportasi di abad XVIII juga merupakan pendorong tren
globalisasi, yang membedakannya dengan arus globalisasi yang terjadi dua-tiga
dekade belakangan ini adalah kecepatan dan jangkauannya. Selanjutnya, interaksi
dan transaksi antara individu dan negara-negara yang berbeda akan menghasilkan
konsekuensi politik, sosial, dan budaya pada tingkat dan intensitas yang
berbeda pula. Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi pada saat ini
ditandai oleh serangkaian kebijakan yang diarahkan untuk membuka ekonomi
domestik dalam rangka memperluas serta memperdalam integrasi dengan pasar
internasional.
Sangat menarik apa yang
dikemukakan oleh Joseph E. Stiglitz, peraih hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001
yang menyatakan bahwa ”Globalisasi sendiri sebenarnya tidak begitu baik atau
buruk, Ia memiliki kekuatan untuk melakukan kebaikan yang besar, dan bagi
negara-negara di Asia Timur yang telah menerima globalisasi dengan persyaratan
mereka sendiri, dengan kecepatan mereka sendiri, globalisasi memberikan manfaat
yang besar, walaupun ada kemunduran akibat krisis 1997”.[2]
Prof. A.F.K. Organski menyatakan
bahwa negara-negara yang sekarang ini disebut negara modern menempuh
pembangunanannya melalui tiga tahap pembangunan, yaitu unifikasi (unification),
industrialisasi (industriali-zation), dan negara kesejahteraan (social
welfare).[3] Pada tingkat pertama, yang menjadi masalah berat adalah bagaimana
mencapai integtarsi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional.
Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik.
Akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah melindungi
rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap
sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat
tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan memakan waktu relatif lama.
Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi,
industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan.[4]
Pada dasarnya setiap kegiatan
atau aktivitas manusia perlu diatur oleh suatu instrumen yang disebut sebagai
hukum. Hukum disini direduksi pengertiannya menjadi perundang-undangan yang
dibuat dan dilaksanakan oleh negara.[5] Cita-cita hukum nasional merupakan satu
hal yang ingin dicapai dalam pengertian penerapan, perwujudan, dan pelaksanaan
nilai-nilai tertentu di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang
berasaskan Pancasila dan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. khusus dalam
bidang kehidupan dan kegiatan ekonomi pada umumnya dan dalam rangka menyongsong
masyarakat global, cita hukum nasional sangat membutuhkan kajian dan
pengembangan yang lebih serius agar mampu turut serta dalam tata kehidupan
ekonomi global dengan aman, dalam pengertian tidak merugikan dan dirugikan oleh
pihak-pihak lain.[6]
Lembaga hukum adalah salah satu
di antara lembaga/pranata-pranata sosial, seperti juga halnya keluarga, agama,
ekonomi, perang atau lainnya.[7] Hukum bagaimanapun sangat dibutuhkan untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, baik dalam kehidupan
sosial, politik, budaya, pendidikan, dan yang tak kalah penting adalah
fungsinya atau peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan
ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang
terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan
sumber ekonomi dilain pihak, sehingga konflik antara sesama warga dalam
memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi.[8] Berdasarkan
pengalaman sejarah, peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak
mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama
dalam pembangunan ekonomi.
Tuntutan agar hukum mampu
berinteraksi serta mengakomodir kebutuhan dan perkembangan ekonomi dengan
prinsip efisiensinya merupakan fenomena yang harus segera ditindaklanjuti
apabila tidak ingin terjadi kepincangan antara laju gerak ekonomi yang dinamis
dengan mandeknya perangkat hukum.[9] Di samping itu ahli hukum juga diminta peranannya
dalam konsep pembangunan, yaitu untuk menempatkan hukum sebagai lembaga (agent)
modernisasi dan bahwa hukum dibuat untuk membangun masyarakat (social
engineering).[10]
Perubahan tatanan dunia saat ini
ditandai oleh perkembangan teknologi yang memungkinkan komunikasi dan informasi
antara masyarakat internasional menjadi sangat mudah, dan hukum internasional
saat ini bercirikan hukum yang harmonis atau setidak-tidaknya hukum
transnasional. Harmonisasi hukum di sini diartikan bahwa hukum internasional dipengaruhi
hukum nasional dan hukum nasional juga dipengaruhi hukum internasional. Dalam
proses harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum
nasional, berarti negara nasional harus membuat aturan-aturan nasional yang
mendorong realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama.[11] Sebagai
contoh dalam bidang perdagangan internasional, ketentuan-ketentuan perdagangan
internasional dalam rangka World Trade Organization (WTO) telah mendorong
negara-negara membuat aturan-aturan nasional sebagai tindak lanjut penerapan
ketentuan tersebut dalam suasana nasional.
Sebagai akibat globalisasi dan
peningkatan pergaulan dan perdagangan internasional, cukup banyak
peraturan-peraturan hukum asing atau yang bersifat internasional akan juga
dituangkan ke dalam perundang-undangan nasional, misalnya di dalam hal
surat-surat berharga, pasar modal, kejahatan komputer, dan sebagainya. Terutama
kaidah-kaidah hukum yang bersifat transnasional lebih cepat akan dapat diterima
sebagai hukum nasional, karena kaedah-kaedah hukum transnasional itu merupakan
aturan permainan dalam komunikasi dan perekonomian internasional dan
global.[12] Akibatnya semakin memasuki abad XXI, semakin hukum nasional
Indonesia akan memperlihatkan sifat yang lebih transnasional, sehingga perbedaan-perbedaan
dengan sistem hukum lain akan semakin berkurang.
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, penulis tertarik untuk melakukan suatu kajian mengenai pengaruh
globalisasi ekonomi dan hukum ekonomi internasional dalam pembangunan hukum
ekonomi di Indonesia.
II. Pengaruh
Globalisasi Ekonomi dan Hukum Ekonomi Internasional dalam Pembangunan Hukum
Ekonomi di Indonesia.
Pembangunan hukum adalah suatu
pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara dan bangsa.[13]
Hadirnya undang-undang sebagai hukum tertulis melalui perundang-undangan dan
dalam proses peradilan sebagai yurisprudensi (judge made law) juga telah lama
dikenal dalam dunia hukum, demikian pula halnya dengan bagian dari hukum
Indonesia yang saat ini semakin penting dan berpengaruh, yaitu hukum ekonomi
Indonesia yang daya berlakunya di samping dalam lingkup nasional juga
internasional. Relevansi hukum ekonomi semakin menonjol sejak lintas niaga
masuk dalam dunia tanpa batas atau globalisasi ekonomi. Bagi Indonesia,
tepatnya setelah meratifikasi persetujuan internasional di bidang perdagangan
dalam suatu organisasi internasional yang dikenal dengan World Trade
Organization (WTO), karena dengan demikian Indonesia harus mematuhi segala
ketentuan yang berlaku bagi semua negara anggota WTO dengan segala
konsekuensinya.
Realita ini menempatkan
Indonesia untuk benar-benar dan bersungguh-sungguh “mengikuti dan
mengembangkan” hukum ekonomi internasional, terutama dalam pelaksanaannya atau
penegakkan hukumnya, dimana semua penegak hukum dan pelaku hukum dalam lintas
bisnis nasional dan internasional. Hal ini berarti kekeliruan dalam
pengelolaannya akan berakibat dirugikannya Indonesia dalam perdagangan
internasional atau perdagangan bebas, bahkan dampaknya tidak hanya menyangkut
para pihak dalam perjanjian bisnis internasional, melainkan juga rakyat
Indonesia secara keseluruhan.
Menjawab dan mengantisipasi
dampak perdagangan internasional abad XXI, tidak ada jalan lain kecuali harus
menempatkan “Manajemen Penegakkan Hukum Bisnis Internasional” sebagai misi
strategis dalam mewujudkan ketahanan ekonomi nasional di tengah globalisasi
ekonomi yang sudah dan sedang berlangsung akhir-akhir ini.[14] Semakin baik
dalam suatu negara hukum itu berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian
hukum nyata. Sebaliknya, bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang
berfungsi secara otonom, maka semakin kecil pula tingkat kepastian
hukumnya.[15]
Perkembangan dalam teknologi dan
pola kegiatan ekonomi membuat masyarakat di dunia semakin saling bersentuhan,
saling membutuhkan, dan saling menentukan nasib satu sama lain, tetapi juga saling
bersaing. Hal ini secara dramatis terutama terlihat dalam kegiatan perdagangan
dunia, baik di bidang barang-barang (trade in goods), maupun di bidang jasa
(trade in services). Saling keterkaitan ini memerlukan adanya kesepakatan
mengenai aturan main yang berlaku. Aturan main yang diterapkan untuk
perdagangan internasional adalah aturan main yang berkembang dalam sistem
GATT/WTO.[16]
Manakala ekonomi menjadi
terintegrasi, harmonisasi hukum mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade
Organization) telah didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional
seperti Masyarakat Eropah, NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara
regionalisasi dan globalisasi perdagangan. Sebaliknya integrasi ekonomi global
mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru. Berdagang dengan WTO dan
kerjasama ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis,
memperbaharui mekanisme pasar, dan memfungsikan sistim hukum.
Perkembangan yang mandiri dari
perusahaan multinasional kerap kali diramalkan sebagai perkembangan suatu badan
yang benar-benar tanpa kebangsaan, dan benar-benar mandiri. Peradaban dunia
yang kemudian menjadi hukum internasional turut mempengaruhi pembangunan hukum
nasional dan sistem perekonomian negara berkembang. Globalisasi ekonomi sekarang
ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem
ekonomi internasional. Sebagai suatu ideologi, globalism menawarkan seperangkat
ide, konsep, keyakinan, norma dan tata nilai mengenai tatanan masyarakat dunia
yang dicita-citakan serta bagaimana cara untuk mewujudkannya.[17]
Bagaimanapun karakteristik dan
hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada
bidang hukum, globalisasi ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi
hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan kesepakatan
internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya
antara barat dan timur.
Globalisasi di bidang
kontrak-kontrak bisnis internasional sudah lama terjadi, karena negara-negara
maju membawa transaksi baru ke negara berkembang, maka mitra kerja mereka dari
negara-negara berkembang akan menerima model-model kontrak bisnis internasional
tersebut, dapat disebabkan karena sebelumnya tidak mengenal model tersebut,
dapat juga karena posisi tawar (bargainig position) yang lemah. Oleh karena itu
tidak mengherankan, perjanjian patungan (joint venture), perjanjian waralaba
(franchise), perjanjian lisensi (license), perjanjian keagenan (agence),
memiliki format dan substansi yang hampir sama diberbagai negara. Konsultan
hukum suatu negara dengan mudah mengerjakan perjanjian-perjanjian semacam itu
di negara-negara lain, persamaan ketentuan-ketentuan hukum di berbagai negara
bisa juga terjadi karena suatu negara mengikuti model negara maju berkaitan dengan
institusi-institusi hukum untuk mendapatkan akumulasi modal. Undang-undang
Perseroan Terbatas diberbagai negara, baik dari negara-negara Civil Law maupun
Common Law berisikan substansi yang serupa. Begitu juga dengan peraturan pasar
modal, dimana saja tidak berbeda, satu sama lain. Hal ini terjadi karena dana
yang mengalir ke pasar-pasar tersebut tidak lagi terikat benar dengan waktu dan
batas-batas negara. Tuntutan keterbukaan (transparency) yang semakin besar,
berkembangnya kejahatan internasional dalam pencucian uang (money laundering)
dan insider trading mendorong kerjasama internasional.
Dibalik usaha keras menciptakan
globalisasi hukum, tidak ada jaminan bahwa hukum tersebut akan memberikan hasil
yang sama di semua tempat. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan politik,
ekonomi dan budaya. Hukum itu tidak sama dengan kuda, orang tidak akan
menamakan keledai atau zebra adalah kuda, walau bentuknya hampir sama, kuda
adalah kuda. Hukum tidak demikian, apa yang disebut hukum itu tergantung kepada
persepsi masyarakatnya.[18]
Friedman, menyatakan bahwa
tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung kepada budaya hukum
masyarakatnya. Budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum
anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan
budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.[19] Dalam
menghadapi hal yang demikian itu perlu “check and balance” dalam bernegara.
“check and balance” hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan
yang mandiri, dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya. Dalam hal
tersebut, khususnya dalam masalah pengawasan dan Law Enforcement, dua hal yang
merupakan komponen yang tak terpisahkan dari sistim rule of law. Tidak akan ada
law enforcement kalau tidak ada sistim pengawasan dan tidak akan ada rule of
law kalau tidak ada law enforcement yang memadai.
E.C.W. Wade dan Godfrey Philips
menyatakan tiga konsep mengenai “Rule of Law” yaitu The Rule Of Law
mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat yang dalam pandangan tradisi
barat lahir dari alam demokrasi; The Rule of Law menunjukkan suatu doktrin
hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum; The Rule of
Law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci oleh
peraturan-peraturan hukum baik substantif maupun hukum acara.[20] Berbagai
unsur dari pengertian Rule of Law tersebut haruslah dilaksanakan secara
keseluruhan, bukan sepotong-sepotong, dan dalam waktu bersamaan. Pengecualian
dan penangguhan salah satu unsurnya akan merusak keseluruhan sistim.
Pada tataran ide normatif dalam
GBHN, hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorong pembangunan, khususnya
terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan amanat ini, maka hukum tentu sangat
memerlukan dukungan yang terdiri dari personalia yang profesional dan beretika,
organisasi yang kapabel dan berdaya guna, serta peradilan yang bebas dan
berhasil guna. Semuanya ini adalah sebagian prasyarat konsepsional yang paling
di butuhkan dalam konteks kekinian Indonesia.[21] Sayangnya, ketika memasuki tataran
implementasi-sosiologis, selain tampak dengan jelas berbagai hal yang
menggembirakan, terlihat pula adanya “peminggiran” peran hukum dalam upaya
mencapai kemajuan bangsa yang telah dicanangkan. Dalam berbagai arena
pergulatan hidup masyarakat, terkadang dengan mudah dilihat atau dirasakan
kemandulan peran dan fungsi hukum.
Sebagai penutup tulisan ini,
rasanya masih sangat relevan apa yang dikemukakan oleh Prof. Mochtar
Kusumaatmadja yang menyatakan bahwa dalam usaha membangun hukum nasional yang
berlaku untuk seluruh bangsa dan sanggup mengantisipasi kemajuan dan pergaulan
dengan dunia internasional, kita harus memegang teguh pada batas-batas dan
pembedaan antara hukum perdata, dan hukum publik dan antara hukum perdata dan
hukum pidana yang sudah umum diterima oleh masyarakat dunia.
III. Kesimpulan
Rasanya tidaklah adil apabila
melihat globalisasi dan liberalisasi ekonomi secara apriori, namun sebaliknya
menerimanya dengan mentah-mentah begitu saja tanpa bersikap kritis juga bukan
sikap yang bijaksana. Dengan berbagai akibat positif dan negatifnya,
globalisasi ekonomi bukanlah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan, diubah atau
bahkan dihentikan. Salah satu langkahnya adalah dengan tetap memberikan
kewenangan kepada negara untuk melakukan fungsinya sebagai pengendali pasar
melalui berbagai regulasi ekonomi, menyerahkan sepenuhnya aktivitas ekonomi
nasional pada mekanisme pasar yang diyakini sebagai “self regulating” justeru
akan menimbulkan ketidakadilan bagi banyak pihak di dalam negeri dan sebaliknya
membuka peluang transnational untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi
bangsa Indonesia. Pelaksanaan roda pemerintahan dengan demokratis dan
menggunakan hukum sebagai salah satu instrumen untuk merencanakan dan
melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, semoga akan membawa negara
ini menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan.
Sumber:
http://samuelchristiantjahyadiweb.wordpress.com/2009/01/22/pengaruh-globalisasi-ekonomi-dan-hukum-ekonomi-internasional-dalam-pembangunan-hukum-ekonomi-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar